Business War : Taman
Kematian bagi Bad Management Skills
- Written by Yodhia Antariksa
Padang
kurusetra bernama perang bisnis itu selalu saja meninggalkan duka bagi mereka
yang terluka. Microsoft sudah lama mengalami stagnasi. Dell kini limbung
setengah kolaps. Produsen printer raksasa Hewlett Packard seperti prajurit
pikun yang bingung mau kemana. Nokia terpanah penuh luka. Dan Sony terus saja
mengalami pendarahan.
Kalimat yang biasanya segera bergema
adalah ini : mereka semua tertatih-tatih dalam padang peperangan lantaran gagal
melakukan inovasi, right? Wrong. Sejarah panjang tentang laga kompetisi bisnis
dengan jelas menunjukkan bahwa ini bukan soal kegagalan inovasi. Ini juga bukan
soal lemahnya R&D, lemahnya kreativitas, atau product development yang
abal-abal. Bukan.
Itu semua adalah soal kegagalan
manajerial. Soal buruknya management capabilities. Soal management skills yang
sekarat.
Apakah orang Apple lebih pintar dan
kreatif dibanding orang Microsoft? Tidak. Dan apakah orang Sony lebih bodoh
dibanding orang Samsung? Sama sekali tidak. Again : disini bukan soal creative
or not, soal smart or not.
Tulisan pagi ini mau membedah soal
itu : sepotong kisah tentang raksasa yang terluka lantaran kegagalan
manajerial.
Disini mungkin kita bisa menengok
sejarah tentang betapa sebuah perusahaan amat hebat dalam soal riset dan
kepandaian teknikal, namun tetap saja menjadi medioker (kinerjanya pas-pasan).
Disini kita layak mengenang legenda
Xerox dengan Palo Alto Research Center-nya (PARC) pada tahun 70-an. Jika Anda
sekarang happy dengan icon-icon yang menghiasi layar laptop Anda, merekalah
yang menemukannya. Begitu juga dengan mouse yang sekarang Anda pakai.
(Teknologi icon yang dibikin PARC
langsung membuat Steve Jobs saat itu tertegun, lalu “mencuri” serta
menjiplaknya untuk Apple. Ketika dikecam, dengan tenang Jobs berkilah, sambil
mengutip kalimat Pablo Picasso : good artists copy, great artist steal.
Hoho. Jadi amat ironis kalau sekarang Apple menggugat Samsung dengan tuduhan
mencuri. Sebab Apple dulu juga pencuri paling ulung).
Btw, yang mau dikatakan disini
adalah : Xerox sama sekali tidak pernah menjadi perusahaan gadget dan komputer
yang hebat, meski mereka punya periset-periset dashyat. Kenapa? Karena top
manajemen Xerox tidak punya visi yang jernih, dan kapabilitas untuk mendayagunakan
temuan itu untuk menjadi great products.
IBM di tahun 90-an punya kisah yang
sama. Mereka saat itu punya portofolio paten paling top. Tapi kinerja bisnisnya
semaput sebelum diselamatkan CEO hebat bernama Lou Gertsner : dengan kepiawaian
manajerialnya, ia membuat IBM can dance again (Lou kemudian menulis buku bagus
berjudul Who Says Elephant Can
Dance : Inside IBM’s Historic Turn-around).
Sekarang kita menyaksikan kisah itu
berulang pada Microsoft, Hewlett Packard (HP), Dell dan Sony. Ini semua
perusahaan dengan engineer dan programmer kelas wahid plus pusat riset yang
dahsyat. Namun semua limbung lantaran kegagalan top leaders-nya dalam
mendemonstrasikan kecakapan manajerial yang menjulang (visioning, resource
allocation, taking risk, dan strategic decision making).
Ada dua pelajaran penting yang bisa
diserap disini. Pertama, management capabilities, terutama dari top management
level (or board of directors) selalu menjadi penentu kemajuan/kemunduran
perusahaan. Beragam kasus dan sejarah tentang bangkit dan jatuhnya
perusahaan-perusahaan raksasa menunjukkan betapa krusialnya peran CEO and BOD
(board of directors) dalam memetakan laju bisnis.
Jadi kalau ada yang bilang sebuah
perusahaan buruk kinerjanya lantaran kinerja karyawan-nya buruk; ini salah.
Yang lebih sering bukan karena mutu karyawannya, namun mutu top leadersnya
(atau mutu CEO-nya). Tentara benar waktu bilang : tak ada prajurit yang salah,
yang salah adalah komandannya.
Pelajaran kedua : bad succession
planning. Majalah bisnis Fortune menyebut masalah succession planning (atau
pergantian CEO dan level Direksi) merupakan problem besar bagi banyak
perusahaan raksasa. Dan harus dikatakan : perusahaan seperti Microsoft, Sony,
Hewlett Packard amat buruk dalam soal ini (HP bahkan harus mengganti CEO-nya
empat kali hanya dalam waktu lima tahun).
Hanya tantangannya : menemukan top
leader dahsyat seperti Steve Jobs, Bill Gates atau Robby Djohan, Teddy Rachmat
(mantan CEO Astra) dan Cacuk Sudariyanto (mantan CEO Telkom yang legendaris)
bukanlah hal yang mudah. Karena itu, untuk memastikan regenerasi top leaders
yang handal, good succesion planning process mesti segera dijalankan dengan
seksama.
Sebab management capabilities dari
top leaders-lah yang akan menjadi penentu paling krusial bagi lestarinya
kejayaan sebuah bisnis.
Padang kurusetra, tempat perang
bisnis digelar, selalu akan ada disana. Tanpa managerial capabilities yang
andal, sebuah perusahaan bisa terkoyak dan pelan-pelan gugur : menyisakan bau
asap kemenyan yang amat memilukan.
Sharing
is Giving. Please share this good article to your friends
mantep gan,, jangan lupa kunbal sini ea,, Marketing Jepara
BalasHapusza mas
Hapus